Sumber foto : Pinterest
Di sudut kamar yang sempit, Tika duduk merenung, dikelilingi tumpukan buku dan catatan. “Harapan orang tua bukan sekadar harapan, melainkan beban yang terasa memaksa,” ujarnya, suaranya bergetar dalam keheningan malam. Kalimat itu seperti potongan cermin yang memantulkan perasaannya—kepingan-kepingan jiwa yang terpuruk dalam kepedihan. Sebuah kisah yang penuh tekanan dan pencarian jati diri yang tak kunjung usai, melukiskan perjuangan seorang anak dalam menghadapi harapan yang terpendam.
Kehidupan di rumahnya dipenuhi ketegangan yang mengendap. Sejak kehilangan ayah tercinta, dunia Tika seolah runtuh. Semua harapan dan impian yang dulunya bisa dibagi kini terasa harus dia jalani sendiri, tanpa sosok ayah yang selalu menjadi tempat bersandar. Ibunya, yang emosional dan sering meledak-ledak, menambah beban di pundak Tika. Setiap kali mereka bertemu, ada ketegangan yang menggantung di udara, menciptakan suasana yang menyesakkan. Sebagai anak tengah, dia merasa kehilangan yang mendalam, terbagi antara harapan orang tua yang ingin dia capai dan keinginan untuk menemukan identitas dirinya.
Rumah, yang seharusnya menjadi tempat nyaman, justru menjadi ladang konflik. Setiap kali Tika melangkah masuk, aroma masakan ibunya dari dapur mengingatkannya pada masa-masa indah sebelum kehilangan. Namun, kini aroma itu terasa menyakitkan, menyiratkan kenangan manis yang terbalut kepedihan. Tika teringat saat-saat hangat bersama ayahnya, ketika mereka duduk di meja makan dan bercakap tentang mimpi serta harapan. Kenangan itu kini menjadi bayangan yang menuntutnya untuk kembali kepada realitas yang menyakitkan, terkurung dalam keheningan yang menyiksa.
“Kenapa kamu tidak pernah berusaha lebih baik?” tanya ibunya suatu sore, nada kecewa menghujam hatinya seperti anak panah. “Lihat kakakmu, dia sukses. Kenapa kamu tidak bisa seperti dia?” Kata-kata itu menjadi pengingat akan segala ekspektasi yang dibebankan padanya. Tika merasakan campur aduk cemburu dan ketidakberdayaan. Di luar sana, ia berjuang keras menyelesaikan kuliahnya, sementara di rumah, dia terus-menerus dibandingkan dengan kakaknya yang telah menikah dan memilih untuk tinggal bersama suaminya. Beban itu membuatnya merasa tidak berharga, seolah semua usaha yang dia lakukan sia-sia.
Dengan segala ketegangan yang ada, Tika memutuskan untuk ngekos. Langkah itu, meskipun penuh ketidakpastian, menjadi upaya untuk menemukan kembali dirinya. Di kosannya, dia merasa lebih bebas, jauh dari pertikaian yang tak berujung di rumah. Di ruang kecilnya yang dihiasi poster-poster idola, dia menemukan tempat untuk bernapas. Waktu dihabiskan untuk mengerjakan tugas kuliah, menggambar, dan merangkai kata-kata dalam jurnalnya. Setiap goresan pena menjadi pelampiasan dari rasa sakit dan kerinduan yang terus menggerogoti hatinya.
Namun, meski jauh dari rumah, bayang-bayang masalahnya tetap mengikutinya. Setiap kali pulang, Tika merasa ada yang menunggu—adu mulut yang sudah menjadi ritus dalam keluarga mereka. “Kamu tidak pernah belajar dari kesalahan,” ungkap ibunya, menambahkan luka di hati Tika dengan nada penuh kekecewaan. Dalam perdebatan itu, sering kali kata-kata tajam terlontar, dan Tika merasa terjebak dalam kesedihan yang mendalam, tidak hanya karena kehilangan ayahnya, tetapi juga karena hubungan yang semakin renggang dengan ibunya.
Suatu malam, setelah adu mulut yang lagi-lagi berujung pada kehampaan, Tika pergi ke kostnya dengan perasaan hancur. Di sana, dia menulis di jurnalnya, mengeluarkan semua perasaan yang terpendam. Setiap kata yang dituliskannya menjadi pelampiasan dari segala rasa sakit yang ia alami. Menuliskan perasaannya memberikan sedikit ketenangan, meskipun jiwanya masih dilanda kesedihan yang mendalam.
Di tengah kesulitan hidupnya, Tika menemukan cinta di sosok Richo, pacarnya yang kini menjalin hubungan jarak jauh. Meskipun terpisah oleh ribuan kilometer, mereka berusaha saling mendukung. Richo selalu mengirim pesan untuk menanyakan kabar dan mendengarkan keluh kesah Tika. “Aku percaya kamu bisa melewati ini semua,” tulisnya suatu hari. Kata-kata itu menjadi pelipur lara di tengah kesedihan yang mengelilingi Tika, seolah mengingatkannya bahwa ada seseorang yang peduli dan percaya padanya.
Namun, setiap kali Tika merasa bahagia dengan Richo, ada rasa cemas yang menyergap. “Apakah dia akan tetap menunggu?” pikirnya, pertanyaan itu terus menghantuinya, seperti bayangan gelap yang tak kunjung pergi. Jarak yang memisahkan mereka membuat Tika merasa seolah cinta mereka rentan, bisa hancur kapan saja. Dia ingin percaya bahwa cinta bisa mengatasi segalanya, namun ketidakpastian itu selalu membuatnya resah.
Meski demikian, Tika berusaha menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil yang sering terlewatkan. Mencicipi makanan baru menjadi pelarian yang menyegarkan, sebuah cara untuk merayakan hidup dan menghargai diri sendiri. “Saya suka mencoba makanan baru, itu memberi saya kebahagiaan sejenak,” ungkapnya dengan senyum yang merekah, mengenang pengalaman pertama kali mencicipi ramen di kedai pinggir jalan. Aroma rempah yang menyegarkan dan rasa yang menggugah selera menjadi obat bagi jiwa yang lelah, mengingatkannya bahwa hidup tidak selalu tentang memenuhi harapan orang lain.
Di tengah perjalanan ini, Tika juga merindukan momen di mana hubungan keluarganya bisa lebih hangat. Dia membayangkan sebuah rumah yang bukan hanya tempat pulang, tetapi juga tempat berbagi kasih sayang dan pengertian. Keluarga seharusnya menjadi tempat di mana setiap anggotanya merasa aman untuk berbagi cerita tanpa rasa takut akan penilaian. Saat dia berusaha untuk berkomunikasi dengan orang tuanya, dia berharap agar mereka bisa saling mendengarkan tanpa menghakimi. “Saya ingin orang tua bisa menjadi tempat saya bercerita, mendengarkan tanpa menghakimi,” katanya, mengungkapkan harapannya akan ikatan yang lebih dekat.
Tika mulai menyadari bahwa menyeimbangkan harapan orang tua dan keinginan sendiri adalah tantangan yang tidak mudah. Terkadang, dia merasa harus bersikap egois untuk menjaga kesejahteraannya sendiri. Ketika ketegangan memuncak, mengasingkan diri di luar menjadi cara untuk menenangkan jiwa, memberi ruang bagi dirinya untuk bernapas dan merenungkan apa yang sebenarnya dia inginkan dalam hidupnya. Dalam keheningan malam, saat melihat bintang-bintang berkelip, dia merasa seolah dunia mendengarkan semua kerisauannya, mengajak pikirannya melanglang jauh dari semua masalah.
Di sinilah Tika mulai belajar untuk mengalah dan membuat pilihan yang menyenangkan. Dalam pencarian kebahagiaan, dia berusaha melakukan hal-hal yang membuatnya senang, meski hanya sesaat. Dia ingin jujur pada perasaannya, mengungkapkan jika merasa senang atau tidak, dan tidak membiarkan harapan orang lain menenggelamkan suaranya sendiri. Ketulusan itu menjadi langkah awal untuk berdamai dengan diri sendiri, mengajak dia untuk tidak terjebak dalam ekspektasi yang membebani.
Dalam perjalanan menuju kedamaian, Tika menemukan bahwa harapan bukan hanya tentang memenuhi ekspektasi orang lain, tetapi juga tentang menemukan makna dalam setiap langkah yang diambil. Dengan setiap goresan pena di jurnalnya, dia menyadari bahwa menggenggam harapan berarti memperjuangkan kebahagiaan diri sendiri. Meskipun jalan yang dihadapi penuh liku, dia bertekad untuk terus melangkah, menciptakan kisahnya sendiri, dan menemukan jati diri di tengah tekanan yang mengelilinginya. Harapan yang digenggamnya bukan lagi beban, melainkan cahaya yang menuntunnya ke arah yang lebih baik, memandunya menuju masa depan yang penuh kemungkinan.
Komentar
Posting Komentar