Sumber foto : Pinterest
Empat tahun lalu, Felix Baghi memulai kuliah di IFTK Ledalero dengan pertanyaan reflektif tentang sastra. Mahasiswa memberikan beragam jawaban; beberapa menganggap sastra sebagai karya tulis biasa, sedangkan yang lain melihatnya sebagai cerminan perasaan penulis terhadap realitas yang dialaminya.
Felix menilai bahwa sastra lebih dari sekadar teks tertulis; menurutnya, sastra adalah “media yang mampu menyampaikan pikiran dan membersihkan hati nurani manusia.” Ia menjelaskan bahwa membaca sastra membantu seseorang mengembangkan empati, berpikir kritis, dan memahami diri sendiri serta lingkungan sekitar.
Di tengah banjir informasi yang sering kali membingungkan, sastra berfungsi sebagai alat untuk memilah informasi yang baik dan buruk. Sastra memberi kebebasan berpikir, melampaui batas norma, dan menawarkan berbagai interpretasi tentang kebenaran. Dalam dunia pendidikan, sastra berperan penting dalam mengasah rasa dan moralitas siswa, serta menumbuhkan kesadaran kritis dan kepekaan sosial.
Felix menambahkan bahwa membaca sastra tidak hanya tentang memahami teks, tetapi juga merasakan dan memahami tantangan, dilema moral, serta pertanyaan eksistensial yang dihadapi oleh orang lain. "Membaca sastra adalah upaya menyelami diri sendiri dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Sastra memberdayakan dan menggerakkan," katanya.
Integrasi Sastra dalam Kurikulum Pendidikan
Mempertimbangkan pentingnya sastra dalam pembentukan kepribadian dan kecerdasan emosional, pemerintah memutuskan untuk memperkuat peran sastra dalam kurikulum pendidikan nasional. Keputusan ini diambil dengan keyakinan bahwa pengajaran sastra tidak hanya mendorong kreativitas tetapi juga membangun karakter bangsa.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah merumuskan kurikulum baru yang menempatkan sastra sebagai bagian integral dari pelajaran bahasa dan budaya. Rencana ini termasuk memasukkan sastra dalam Kurikulum Merdeka yang akan diterapkan pada tahun ajaran baru.
Program 'Sastra Masuk Kurikulum' diatur oleh Peraturan Mendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024, bertujuan untuk memperkuat kompetensi siswa dan membudayakan literasi. Program ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, yang bertujuan memperkuat rasa cinta tanah air dan membangun identitas bangsa.
Kebijakan ini akan mencakup seluruh jenjang pendidikan, dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Anindito Aditomo, mengungkapkan bahwa sastra akan menjadi bagian dari kegiatan kokurikuler, bukan hanya ekstrakurikuler. "Beberapa mata pelajaran, terutama bahasa Indonesia, dapat dengan mudah mengintegrasikan materi sastra," ujarnya di Jakarta pada Senin (20/05/2024).
Kemendikbudristek juga mempersiapkan 177 judul buku sastra untuk mendukung pembelajaran, termasuk novel, cerpen, puisi, dan non-fiksi. Buku-buku ini telah melalui proses kurasi selama satu tahun. Anindito menekankan bahwa guru akan memiliki kebebasan dalam memilih karya sastra yang sesuai dengan pelajaran mereka.
Sastrawan Eka Kurniawan, yang terlibat dalam proses kurasi, menjelaskan bahwa pemilihan buku dilakukan dengan teliti, mempertimbangkan tahun, genre, dan tema untuk setiap jenjang pendidikan. Integrasi sastra dalam kurikulum diharapkan dapat meningkatkan minat baca siswa dan memperdalam pemahaman mereka tentang berbagai sudut pandang kehidupan.
Tantangan dalam Pembelajaran Sastra
Pembelajaran sastra di Indonesia menghadapi beberapa tantangan. Faktor pertama adalah kompetensi pengajar dalam sastra. Pengajaran yang menarik sangat bergantung pada strategi yang tepat. Kedua, minat baca siswa yang rendah, seringkali karena lebih tertarik pada game online daripada membaca buku. Ketiga, berkurangnya buku penunjang akibat pandangan bahwa sastra lebih sebagai pelengkap daripada bagian integral pendidikan.
Menurut Tarigan (1995), sastra memainkan peran penting dalam pendidikan anak, membantu perkembangan bahasa, kognitif, kepribadian, dan sosial. Pemanfaatan sastra dalam pendidikan dapat dilakukan dengan cara reseptif, yaitu penerimaan bahan ajar berkualitas, serta ekspresif, yaitu pengelolaan emosi dan kreativitas siswa.
Jacob Sumardjo (1984) mengemukakan bahwa pengajaran sastra yang efektif harus mampu mengatasi permasalahan yang ada dan menciptakan suasana yang menyenangkan agar minat siswa meningkat.
Dengan pendekatan ini, diharapkan siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan mereka individu yang bijaksana, berempati, dan memiliki hati nurani yang bersih.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Label
Pendidikan- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar